Cari

Sabtu, 25 Mei 2013

Kajian Puisi Tiga Alasan Pendulang meninggalkan Bombana karya Irianto Ibrahim Berdasarkan Pendekatan Ekspresif (Sebuah Kajian Psikologi Sastra)


BAB I
PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang

Pada puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana”, penulis hanya mampu mengatakan bahwa puisi ini adalah puisi yang tidak berbelit-belit begitu pun pencitraan makna ataupun pesan yang disampaikannya. Pada penulisan tulisan ini, sejujurnya penulis merasa perlu berterima kasih kepada penyair karena dengan puisi ini semacam telah tergambar suatu pemahaman tentang apa yang belum sebenarnya penulis tidak mengerti tentang hal diluar kehidupan penulis sendiri. Penulis menganggap bahwa “puisi ini” (khusus untuk diri pribadi penulis sendiri) adalah :
Sehelai bulu
Terakit bagai sayap
Membawaku terbang
Walau tak sehebat Raja Unggas.

Penulis pun sempat bingung metode apa yang harus dilakukan dalam tulisan ini agar makna maupun pesan yang disampaikan dapat mendekati tujuan dari penyair sendiri. Setelah membaca dan mengamati puisi ini bait demi bait, penilis merasa ada sedikit kejanggalan pada puisi ini. Penulis pun berhipotesis, bahwa penyair mungkin tidak pernah ke lokasi dan menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di sana . terlahirnya puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” penilis merasa penyair mendapat ide-ide dari beberapa pendulang yang sempat mendulang di penambangan Bombana. Dan ide atau pengalaman dari pendulang itu sehingga terlahirlah puisi ini. Karena alasan itulah sehingga pada tulisan ini menggunakan metode Ekspresif (sebuah kajian psikologi sastra). Tapi, khusus bait kedua penulis sedikit memberikan sentuhan Mistisme dengan harapan mampu mendekati pesan ataupun makna yang ada pada puisi ini.

Puisi adalah sebagai alat pengungkapan fikran dan perasaan atau sebagai alat ekspresi, (Taufik Ismail). Puisi termasuk salah satu bentuk karya sastra. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan dalam karya sastranya adalah sesuatu yang ingin diungkapkan pada pembaca. Dalam penyampaian idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Abrams (1976:6) mengemukakan dalam komunikasi antara sastrawan dan pembaca tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu : karya satra, sastrawan, semesta, dan  pembaca. Untuk itu terdapat empat pendekatan dalam kajian karya sastra, yaitu :
  1. Pendekatan objektif (objective criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastra.
  2. Pendekatan ekspresif (expressive criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada penulis.
  3. Pendekatan mimetik (mimetic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan terhadap semesta/alam.
  4. Pendekatan pragmatik (pragmatic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada pembaca.
Menurut Juhl, berkaitan dengan pendekatan ekpresif, bahwa kedudukan penulis karya sastra sebagai faktor yang menentukan dalam penafsiran karya sastra. Oleh karena itu, pada makalah ini, penyusun akan mengkaji puisi ”Tiga Alasan Pendulang Meniggalkan Bombana” karya Irianto Ibrahim” berdasarkan pendekatan ekspresif dengan fokus kajian pada kajian tentang psikologi sastra.

II.      Kerangka Teori

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189). Karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya (Junus, 1985:2).
Dalam pendekatan ekspresif psikologi pengarang menjadi salah satu bahan kajian dalam mengkaji sebuah karya sastra. Sebab dalam penciptaan sebuah karya sastra perlu adanya dorongan-dorongan (Id), pengalaman hidup, maupun pemikiran-pemikiran secara objektif pengarangnya. Oleh sebab itu, pada sebuah karya sastra, pembaca dapat mengetahui unsur-unsur psikologis yang sedang dialami pengarang dalam tulisannya.
BAB II
PEMBAHASAN

I.                    PUISI

TIGA ALASAN PENDULANG
MENINGGALKAN BOMBANA

pertama, karena
polisi penjaga lahan
bersiap menembak
kepala mereka
kalau wajan atau linggis
tak diserahkan bersama
sepuluh duapuluh kaca
plus pernyataan tak kembali
dengan gaya persis
pembacaan teks pancasila
setiap upacara senin pagi

kedua, karena
ada tiga ekor buaya
berwarna keemasan
ditemukan di bekas galian
lalu kejadian ini
dimaknai sebagai
larangan mendulang
dan kalau tak diindahkan
maka biji-biji emas
akan berubah menjadi
mulut buaya
yang akan mengoyak
tubuh mereka
sampai tak bersisa
dan sudah pasti
juga akan merontokkan
gigi semua pendulang

ketiga, karena
mereka diberi buku p4
kata pemberi buku:
tanah dan air
beserta isinya
dikuasai oleh negara

pendulang
pulang dengan
dada lapang

Kendari, Februari 2010


II.     PENAFSIRAN PEMAHAMAN PUISI

Puisi dapat mengandung isi yang bersifat faktual serta sesuatu yang bersifat abstrak. Maka dalam memahaminya, terdapat puisi yang dapat langsung difahami dan ada juga diperlukan penafsiran terlebih dahulu. Dalam menafsirkan puisi terdapat banyak teori-teori. Namun Tzvetan Todorov, memperingatkan tentang bahaya mendewakan teori. Bagi Todorov adalah lebih baik berspekulasi, sambil juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih buta dan nekat bergerak membabi buta.
Dan penafsiran pemahaman secara sederhana puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” karya Irianto Ibrahin ini dapat disimpulkan sebagai berikut:…………..
Dengan puisinya ini, Irianto Ibrahim(pengarang) seperti merenung dalam kesendiriannya atau semacam gerah dengan apa yang terjadi. Pengarang menjelaskan tentang apa yang terjadi disebuah tempat penambangan emas yang berada di bombana (judul puisi). Dimana warna-warni, seluk-beluk, kejadian-kejadian, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di “disana” sangat beraneka ragam, corak, dan jenis. Pengarang mendeskripsikan, keadaan/sebab suatu hal sebagaimana kehidupan dan hiruk pikuk peristiwa yang terjadi di tempat penambangan emas dibombana (bait 1, 2, dan 3). Lalu, dalam kegelisahan/atau semacam keprihatinan tentang apa yang melanda para pendulang ini sehingga mereka harus minggat dari tempat itu, pengarang secara gamblang menjelaskan fenomena itu didalam puisinya. Penyair juga menjelaskan bagaimana dan apa yang dilakukan dengan apa yang menimpa/ atau semacam perasaan pendulang setelah kejadian yang menimpa mereka (bait 4). Hal ini masih menimbulkan tanda Tanya bagi penulis sendiri. Pada pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba lebih dalam tentang apa yang penulis mampu kuak dalam tulisan ini.  



III.   BIOGRAFI SINGKAT PENGARANG
            Dalam penelitian ekpresif, mengetahui latar belakang pengarang merupakan hal yang mesti dilakukan. Karena bagaimana kita akan mengetahui dengan baik isi pesan yang disampaikan tanpa mengenal/mengetahui siapa yang menyampaikannya atau siapa pembuat pesannya.
Irianto Ibrahim, lahir di Gu-Buton, 21 oktober 1978. Mengasuh Komunitas Arus di Kendari. Mengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo, Kendari.  Juga merupakan salah satu penyair Nasional. Contoh karya yang lain dapat di lihat pada buku Rumah Lebah/ruang puisi 02.





IV.  KAJIAN BERDASARKAN TINJAUAN PSIKOLOGIS

Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan kedalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Pada puisi ini, penyair menyaimpaikan kepada pembaca tentang apa yang menjadi sebab pendulang meninggalkan penambangan emas di Bombana. Sebab/alas an tersebut dijelaskan pada bait 1, 2, dan 3. Pada bait pertama penyair menguraikan hal pertama yang menjadi hambatan para pendulang
pertama, karena
polisi penjaga lahan
bersiap menembak
kepala mereka
kalau wajan atau linggis
tak diserahkan bersama
sepuluh duapuluh kaca
plus pernyataan tak kembali
dengan gaya persis
pembacaan teks pancasila
setiap upacara senin pagi

Hal pertama yang diungkapkan penyair pada puisinya pada bait pertama ini yaitu, para pendulang tidak diperbolehkan masuk kelokasi penambangan. Polisi akan melakukan berbagai cara agar pendulang meninggalkan lokasi. Mulai dari penyitaan peralatan pendulangan sampai hasil keringat pendulang sendiri serta semacam perjanjian bahwa pendulang tak boleh kembali di penambangan, jika hal tersebut tak diindahkan pendulang maka kata yang mungkin polisi penjaga lahan ucapkan bahwa tempat ini bukan milik kalian.


Pada bait kedua
kedua, karena
ada tiga ekor buaya
berwarna keemasan
ditemukan di bekas galian
lalu kejadian ini
dimaknai sebagai
larangan mendulang
dan kalau tak diindahkan
maka biji-biji emas
akan berubah menjadi
mulut buaya
yang akan mengoyak
tubuh mereka
sampai tak bersisa
dan sudah pasti
juga akan merontokkan
gigi semua pendulang

pada bait kedua larik kedua pada puisi ini, sebenarnya penulis kurang sependapat dengan kehadiran Tiga Ekor Buaya. Apakah ini suatu bentuk perumpamaan atau apalah? Melihat dari alasan pemilihan metode dalam penulisan ini, penulis menganggap bahwa munkin penyair salah dalam mendapat informasi atau sang informan yang berlebih-lebihan menyampaikan hal tersebut. Karena pada kenyataannya bukanlah tiga ekor melainkan satu ekor saja, yang memang sempat menghebohkan lokasi penambangan pada saat itu. Terlepas dari permasalahan itu, pesan pada bait kedua ini kurang lebih sebagai berikut.
            Banyak fenomena yang sempat semua orang bergidik untuk mendulang ke lokasi penambangan. Di antaranya, dengan di temukannya buaya dengan sisik keemasan yang muncul di tengah-tengah galian pendulang. Di yakini bahwa, buaya tersebut merupakan arwah penunggu emas. Dari beberapa nara sumber, bahwa kehadiran buaya/penunggu tersebut mulai merasa tak di hargai dimana para pendulang hanya tau-nya saja mengambil apa yang menjadi milik sang penunggu tanpa memberi sedikit pun penghargaan kepadanya. Pertama, Mulai dari pendulang yang takabur dan lupa diri saat butiran-butiran emas yang melimpah mereka dapatkan sampai lupa segalanya bahkan nyawa sendiri pun bukan menjadi. Kedua, kegiatan pendulangan liar yang tidak mampu menyeimbangkan ekosistem sehingga muncul semacam teguran-teguran alam untuk mengingatkan manusia kepada sang Pencipta. Ketiga,

ketiga, karena
mereka diberi buku p4
kata pemberi buku:
tanah dan air
beserta isinya
dikuasai oleh negara

Pada bait ketiga ini penulis melihat bahwa bait ini merupakan kritik untuk pemerintah Bombana, penyair menyampaikan alasan ketiga kenapa pendulang meninggalkan lokasi penambangan yaitu, karena pemerintah setempat yang memberlakukan semacam otonomi sendiri. Peraturan yang tak berkenang di hati pendulang. Banyak isu yang berkembang tentang hal itu. Pertama, pemerintah mengatakan kepada masyarakat pada umumnya dan pendulang pada khususnya bahwa lokasi penambangan bukan milik kalian, hal ini sudah menjadi urusan pemerintah karena ini merupakan asset daerah pemerintah Bombana, bukan milik pendulang. Jadi mau tak mau pendulang tak boleh melakukan apa yang menjadi keinginan mereka yaitu mendulang (maggembong). Kedua, pendulang harus melakukan registrasi kepada pemerintah setempat sebagai karcis untuk masuk di tempat pendulangan yang dimana biaya registrasi ini ada perbedaan antara pendulang local dan nonlocal. Pendulang nonlocal membayar dua kali lipat dari pembayaran pendulang local.


Pada bait keempat :
pendulang
pulang dengan
dada lapang.
Pulang dengan keadaan dada lapang sebenarnya disini, penulis menggambar rasa pilu dihati para pendulang yang harus pulang meninggalkan tempat yang mampu membuat mereka mereka menjadi raja. Pendulang tetaplah pendulang, karena ketiga alasan tadi membuat mereka harus mengusap dada saja.

Melihat dari topografi penambangan yang ada di Bombana, Pada puisi ini, penulis sedikit memberi berupa tanggapan. Bahwa biar pun polisi penjaga lahan menembaki kepala mereka, tapi hal itu tidak menjadi beban karena mereka juga memiliki penjaga lahan yang lain. Kalau pun sampai muncul larangan dengan munculnya tiga ekor buaya di tempat galian, bukan hanya pandai mencari emas tapi mereka juga mahir menangkap buaya meskipun mereka akan di koyak habis oleh sang buaya. Mereka takkan gentar dengan hal  itu. Walaupun pemerintah memberi mereka buku P4 tp mereka juga punya aturan sendiri. Kenyataannya bahwa sejak di temukannya penambangan emas sampai sekarang pendulang masih menyeret pantat mereka di genangan limbah emas. Seakan hari ini mereka akan menggali semua emas yang ada. Walau nyawa berkalang emas.







BAB III
PENUTUP

I.        KESIMPULAN

Puisi sebagai bentuk komunikasi sastra tidak akan terlepas dari peranan pengarang sebagai pencipta sastra. Maka pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189). Dan begitu juga pada puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” karya Irianti Ibrahim pengkajiannya lewat pendekatan ekspresif, merupakan upaya untuk dapat memahami karya sastra ini secara lebih baik sebagai satu kesatuan yang padu dan bermakna (Burhan Nurgiyantoro).
Berdasarkan pendekatan ekspresif dengan kajian psikologi sastra, dapat dikatakan bahwa puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” karya Irianto Ibrahim merupakan hasil cipta karya penulisnya dari pengalaman pada pemikiran pengarangnya pada situasi setengah sadar lalu dituangkan kedalam bentuk secara sadar. Dan Irianto Ibrahim mampu mengungkapkan ekspresi pemikirannya tentang apa yang menjadi kendala para pendulang di Bombana dalam puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” ini.
Kajian psikologi sastra pada puisi “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana” ini juga menitik beratkan pada hal kenapa pendulang harus meninggalkan tempat yang dimana mampu membuat seseorang bisa rajadiraja. Selain itu, biografi pengarang menjadi bagian latar belakang yang merupakan bagian bekal dalam memahami karya sastra berdasarkan psikologi pengarangnya.






II.      DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Benyamin.     “Kajian Puisi” Pegangan Pak Ben.        .
Aminudin.     . Pengantar Apresiasi Karya Sastra.     . Sinar Baru AlGensindo.
Alisjahbana, S.Takdir. 2006. Puisi Baru. Jakarta. Dian Rakyat.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta. MedPress.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta. Grasindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar